“Halo,Pink.”Seseorang memanggilku
begitu.Renyah.Dengan senyum sumringah.Bagaimana bisa aku menolaknya?Lalu seulas
senyum yang sama merekah di bibirku.Namun buru-buru aku menarik kembali sudut
bibir.Dari ekor mata,aku mengawasinya hingga hilang di ujung koridor.
Pffuh.Kenapa begitu sulit untuk menolak
senyumnya? Kenapa pesonanya begitu kuat? Mencengkram bukan hanya aku,melainkan
semua penghuni sekolah.Dia memang istimewa,aku mengakui dalam hati.Tapi aku
membencinya ! Aku tak ingin tersenyum untuknya.Lantas gimana caranya agar kedua
sudut bibir ini nggak tertarik keluar? Uh,sepertinya aku harus menanyakan
tipnya ke Mbah Google.
“Wah...wah...kayaknya ada yang klepek-klepek
nih?”Kalimat menggoda itu mengulik telinga.Memaksaku untuk memutar tubuh dan
mencari tau siapa pemiliknya.Jihan.aku mencibir.Nggak segitunya,ah...’”bantahku
seketika.”Yuhuuu..masa sih?Lihat wajah mu memerah,tuh!”Jihan bersiul
panjang.Refleks kuraba permukaan wajah.Sedikit rasa panas menjalar di sana. Jihan
terrbahak. Udahlah akui aja.Nggak ada yang ngelarang kok.Lagian,masa perang
dingin melulu.Damai dong..damaiiiiii.Jihan masih terus meledekku.
Sok tau ! Aku mengibaskan tangan dan berlalu
dengan angkuh. Damai? Dengan Ray? Oh,mustahil! Aku menarik napas lega.Jihan tak
mengikuti.
Namun sayangnya,lepas dari Jihan tak berarti
aku lepas dari masalah.Karena di depan ku telah berdiri tegak seorang
cowok.Tepatnya makhluk Tuhan yang paling ingin kuhindari saat ini.God,tolong
berikan aku arah yang lain...Aku celingak-celinguk.Nihil.Hanya tersisa dua
pilihan,meneruskan langkah hingga ke hadapannya atau berbalik kembali ke
kelas.Setelah berfikir sejenak,aku menarik napas panjang.Baiklah, aku akan
menghadapinya.
Hai Pink,sapanya menyambutku dalam jarak
setengah meter.Aku melengos.Mencoba bersikap tak peduli dan meneruskan
langkah.Perutku sudah bernyanyi sejak tadi.Tak mungkin ku abaikan gara-gara
cowok ini.Jarak semakin dekat.Lalu...
Pink,kita harus mengakhiri semua ini.Gugup yang
datang tiba-tiba menagacaukan konsentrasiku.Akibatnya aku tak mampu menjaga
jarak.Di pintu siku kami bersinggungan,aku mundur beberapa langkah.’sorry
katanya buru-buru’.Aku bersiap memutar.Namun...”PINK...”Jangan panggil aku
dengan nama itu,tukas ku tak senang.Ia mengerutkan dahi.Sungguh itu mimik
terbaiknya.
Kenapa?Bukankah itu panggilan yang biasa untuk
mu?Tapi,aku tak mau dipanggil begitu,dengusku kesal.Kenapa ia begitu keras
kepala.Kenapa?Aku menyukainya.Ia masih berkeras.Dan itu membuat ku
meradang.Tapi aku tidak! Tolong,jangan panggil aku dengan nama itu..pintaku
bersungguh-sungguh.Bahkan,mungkin terdengar sedikit tajam.Cowok beralis tebal dengan
sepasang mata teduh bagai telaga itu,menatap ku dalam-dalam.Lalu
mengangguk.Baiklah,tapi dengan satu syarat,kita harus bahas masalahnya dulu.
Aku tercengang.Ya ampuun, kenapa jadi dia yang
menentukan ? tapi aku tak punya pilihan,kecuali dia akan terus memanggil ku
dengan nama itu.
Baiklah aku menyerah dengan sangat
terpaksa.Tampaknya aku harus mengakui kebenaran yang beredar di tengah
cewek-cewek di sekolah ini.Ray sangat sulit untuk ditolak.Lihatlah bahkan aku
pun menyerah.
Kami duduk di sudut kantin,menjauh dari
kelompo-kelompok yang berisik di tengah ruangan,suara mereka berdengung bagai
sekumpulan lebah yang mengitari madu.Sesekali gelak terbahak meruak,menyentak
telinga.Apa aja sih yang mereka perbincangkan?
Menit-menit berlalu dalam diam.Kami duduk
berhadapan dengan pandangan berlawanan.Aku membuang pandang ke luar
kantin,menjangkau lapangan basket yang lengang.Ray sibuk dengan fikirannya.Ia
mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah.Seseklali ekor mataku menangkap tatapannya
yang tertuju ke wajah ku.Uh,terperangkap dalam situasi beku seperti ini
benar-benar menyebalkan.Kenapa dia belum bicara sih ? Kalau ga ada yang
dibicarakan,aku pergi.Aku berdiri dan menatapnya dengan gusar.Ray tersentak.Aku
menangkap kegugupan yang membayang selintas di wajahnya.
Oke,sorry sahutnya buru-buru.Duduklah.aku
bingung darimana harus memulainya.Apakah,sebuah permintaan maaf?tanyanya
hati-hati sambil menelisik wajahku. Aku melengos.”kayaknya udah basi
tuh”Kenapa?Bukankah kamu pernah bilang,setiap manusia berhak memperoleh
kesempatan kedua? Aku membuang pandang.Masih ingat pernah ngucapin kalimat itu
kan?Ia mencecarku dengan nada menyiratkan kemenangan.Dan aku tak rela !
Aku ingat,tapi itu nggak berlaku nuat kasus
kita.Kamu itu sadar nggak sih,udah mengatakan sesuatu yang sangat merendahkan
seseorang?sergahku.Aku nggak bermaksud begitu.Aku sedang kesal,itu aja.Aku
nggak punya niat sama sekali untuk merendahkan kamu.Ray membela diri.Tapi kamu
mengejeku dengan julukan cewek perempatan.Coba deh kamu tanya sama orang
lain,apakah kalimat itu nggak merendahkan?.Ray mengela napas dan menatap ku
serius.Aku nggak punya pilihan.Aku gak tahu nama kamu.Dan omongan kamu benar-benar
membuat ku tersinggung.Tapi kamu membuat anak-anak lain ikut-ikutan!Aku
berkeras sambil menahan air mata yang hampir jatuh.Nggak,aku nggak akan
menangis di depan cowok ini!
Aku ingat sekali kejadian awal yang membuatku
membenci Ray.Saat itu,umur ku masih dua belas tahun.Aku besar
dijalanan,sebagaimana ibu dan ayah.Rumah kami hanyalahsebuah rumah mungil di
mulut gang sempit,tepat dibawah naungan sebatang pohon mangga tua.Gang itu
adalah satu dari beberapa gang lain yang bermuara ke sebuah jalan besar,yang
setiap harinya sesak oleh arus beragam kendaraan.
Jauh sebelum ia menemukanku,sosok Ray sudah tak
asing di mataku.Ia anak salah satu pemilik rumah mewah di pinggir jalan
besar,tak jauh dari rumah ku.Setiap pagi ia pergi ke sekolah bersama ayahnya
yang mengendarai sedan mahal buatan Eropa.Siangnya pulang bersama supir dengan
mobil yang berbeda.Dua jam kemudian pergi lagi menyandang tas dan berpakaian
rapi.Pulang lagi ke rumah,tak lama keluar mengenakan baju muslim dan sebuah
peci.Kupikir,ia pergi mengaji.Dua jam berikutnya pulang,masuk ke rumah dan tak
keluar-keluar lagi.Begitulah setiap harinya,kecuali hari minggu.Karena hari
Minggu,jadwal anak lelaki itu jadi tak beraturan.Terkadang ia bermain roller
skate di halamannya yang luas atau bermain sepeda ke jalanan bersama
teman-temannya.Sepedanya bagus,sepeda balap bewarna silver dengan stang
melengkung.
Diam-diam aku mengaguminya kala mengayuh sepeda
di depanku.Ia tak memperhatikan ku sama sekali.Selain itu masih ada beragam hal
lain yang dilakukannya di hari Minggu.Berenang,main badminton dengan ayahnya
atau pergi ke pesta bersama seluruh keluarga.Nah,untuk hal terakhir,aku sering
terkikik geli melihat penampilannya yang berjas dan berdasi kupu-kupu.Bagiku
penampilannya seperti aktor-aktor drama Korea,salah satu favoritku.
Lalu suatu ketika,saat aku hendak menyebrang
jalan,seorang cowok bersepeda nyaris menubruk ku.Aku menutup mata dan menjerit
histeris melihat sepeda itu meluncur kencang ke arahku.Untung tak terjadi
apa-apa.Kecuali permukaan ban yang menyentuh lembut kulit betisku.Aku membuka
mata dan buru-buru berlari ke trotoar.Pengendara sepeda telah duluan berada
disana.Dan aku mengenalinya.Anak orang kaya dengan sepeda keren yang dikagumi.
Kamu ga punya mata ya?Lampu merah masih main
kebut.Percuma aja sekolah,tapi nggak tahu aturan!Aku mendampratnya dengan marah.Tapi
anak lelaki itu malah balas melotot ke arah ku.Wajahnya merah
padam.Teman-temannya yang tiba belakangan sudah merubungi kami.
Dasar cewek perempatan!Kamu tuh yang ga tau
aturan.Bersepeda pake ngelamun segala.Aku makin marah mendengar
kata-katanya.Kamu....sangking marahnya,aku kehilangan kata-kata.Banyak kalimat
yang ingin aku hamburkan tapi yang keluar hanya air mata.Belum pernah ada
seorang pun yang memanggil ku cewek perempatan.Dan aku bersumpah aku takkan
pernah melupakan itu.Nggak akan pernah!
Udah ah,Yuk,kita jalan lagi.Ngapain juga
ngeladeni cewek perempatan.Anak lelaki itu memberi isyarat kepada
teman-temannya lewat tangannya.Mereka mengayuh sepedanya dan meninggalkan
kudengan gelak tawa sumbang.
Aku menggeram marah.Dan lebih marah lagi,karena
setelah itu,julukan cewek perempatan menjadi begitu lekat
denganku.Teman-temannya dan seluruh anak laki-laki dikawasan itu memanggilku
begitu.
Pink,ngelamun?Sebuah sentuhan di ujung jari
membuat seluruh gambar dari masa laluku,buyar menguap.Cepat ku tarik tanganku
dari meja.
Nggak,jawab ku ketus.Tapi kamu nggak mendengar
kata-kata ku barusan kan?Aku menatapnya dengan bibir terkatup rapat.Aku minta
maaf karena pernah menjuluki mu cewek perempatan.Tapi aku ingin tetap
memanggilmu Pink.Boleh?Ray merendahkan suaranya.Aku menggeleng.Kenapa?tanyanya
penasaran.Itu bukan namaku.Tapi kamu membiarkan papa memanggilmu begitu.Kenapa
aku tidak boleh?protes Ray.Aku memalingkan wajah.Karena merasa hutang
budi?kejar Ray.Hatiku mengiyakan.
Ya bagaimana mungkin aku menolak panggilan itu
untuk orang yang telah mengangkatku sebagai anak,sejak ayah dan ibu meninggal
dalam kecelakaan di depan rumah Ray?Aku memejamkan mata dengan hati perih.Semua
seperti membayang kembali.Ayah dan Ibu terkapar berlumuran darah dibadan
jalan.Sepaeda ayah yang remuk di bawah ban truk.Orang-orang yang berkerumun
dengan tatapan terenyuh.Dan tangisan seorang gadis kecil yang menyayat
pilu.Gadis kecil yang tiba-tiba merasa dunianya hampa,tanpa siapa-siapa.Lalu
gelap.Ia pingsan,entah untuk berapa lama.Dan saat tersadar,wajah seorang lelaki
berkumis tebal dengan senyum lebar yang pertama-tama didapati.Lelaki yang
menolong ayah,ibu,dan aku.
Halo Pink?Kamu udah sadar?itu kalimat pertama
yang ku dengar sekaligus pertama kalinya aku disapa dengan sebutan
Pink.Beberapa hari setelahnya baru aku tahu alasan lelaki itu melekatkan nama
Pink.Tak lain warna baju yang kupakai saat pingsan dan semburat merah muda yang
membayang di pipiku ketika sadar.Sebutan pink itu sekaligus melekatkan
identitas baru untukku sebagai anak angkat dr.Rahmad,ayah Ray.
Anehnya meskipun telah serumah,aku dan ray
jarang bertegur sapa,kecuali didepan papanya.Kebencian yang kutanam sejak kasus
di perempatan tak pernah pupus.Bahkan hingga aku duduk di bangku SMA.
Pink...Pokoknya aku nggak mau kamu memanggilku
pink.Itu hanya berlaku untuk papa,tandasku.Tapi aku suka.Apa aku harus
membelikanmu baju pink,boneka pink,sepatu pink,dan benda-benda pink
lainnya,baru kamu mau kupanggil begitu?Ray masih berkeras.”Kamu kira aku cewek
matre ya?”.Ray menggeleng kuat-kuat.Nggak.Aku nggak bilang begitu,Aku Cuma
ingin memanggilmu Pink.”Tapi aku nggak mau”.Ya,tapi kenapa?Bukankah semua butuh
penjelasan?
Aku hanya ingin memakai nama ku,nama yang
dipilihkan Ibu.Aku ingin nama itu selalu melekat.Dengan begitu,kuharap mereka
tak pernah benar-benar pergi dariku,paparku dengan susah payah.Rasanya untuk
menelan ludah saja sulit kulakukan sekarang ini.Apalagi menahan air mata yang
terus menerus berkecipak di pelupuk.Pertahanan ku runtuh.Sebutir demi sebutir
air bening,menyusuri pipi.Dan tahu-tahu aku telah terisak.Ini,Ray menyodorkan
selembar tisu.Aku meraihnya dan cepat-cepat menyusut air mata.
Aku mengerti ujarnya dengan mimik serius.Aku
ingin memanggil mu dengan nama itu sama dengan alasan papa.Kami ingin kamu
bangkit dari masa lalu.Bukan berarti menghilangkan jejak itu sama
sekali.Kurasa,dengan atau tanpa nama asli kami memanggilmu,toh nama itu akan
terus melekat.Di rapor,ijazah,dan surat-surat penting lain.Takkan ada yang
terhapus.Nama itu selalu melekat dengan dirimu,sebagaimana kedua orangtua
mu.Mereka akan selalu ada dan hidup di hatimu meskipun teman-teman memanggilmu
dengan sebutan apa saja.Begitu kan?
Aku terdiam,Kupikir apa yang dikatakan Ray ada
benarnya juga.Tanpa sadar senyum ku mengembang tipis,meski rasanya masih
memahit.”Hei....kamu tersenyum.Apa itu artinya aku boleh memanggilmu Pink?”.Aku
mengangguk.Ray tertawa lebar.
Pink,adikku yang
cantik..katanya kemudian.Pipiku memanas,rasa-rasanya ada semburat pink
disana.Bel berdentang,hmm,itu artinya pembicaraan ini telah usai.Juga perang
dingin kami.
PINK
R.YULIA
SUMBER : MAJALAH GADIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar