Sabtu, 31 Maret 2012

[CERPEN] ^PINK^


“Halo,Pink.”Seseorang memanggilku begitu.Renyah.Dengan senyum sumringah.Bagaimana bisa aku menolaknya?Lalu seulas senyum yang sama merekah di bibirku.Namun buru-buru aku menarik kembali sudut bibir.Dari ekor mata,aku mengawasinya hingga hilang di ujung koridor.
Pffuh.Kenapa begitu sulit untuk menolak senyumnya? Kenapa pesonanya begitu kuat? Mencengkram bukan hanya aku,melainkan semua penghuni sekolah.Dia memang istimewa,aku mengakui dalam hati.Tapi aku membencinya ! Aku tak ingin tersenyum untuknya.Lantas gimana caranya agar kedua sudut bibir ini nggak tertarik keluar? Uh,sepertinya aku harus menanyakan tipnya ke Mbah Google.
“Wah...wah...kayaknya ada yang klepek-klepek nih?”Kalimat menggoda itu mengulik telinga.Memaksaku untuk memutar tubuh dan mencari tau siapa pemiliknya.Jihan.aku mencibir.Nggak segitunya,ah...’”bantahku seketika.”Yuhuuu..masa sih?Lihat wajah mu memerah,tuh!”Jihan bersiul panjang.Refleks kuraba permukaan wajah.Sedikit rasa panas menjalar di sana. Jihan terrbahak. Udahlah akui aja.Nggak ada yang ngelarang kok.Lagian,masa perang dingin melulu.Damai dong..damaiiiiii.Jihan masih terus meledekku.
Sok tau ! Aku mengibaskan tangan dan berlalu dengan angkuh. Damai? Dengan Ray? Oh,mustahil! Aku menarik napas lega.Jihan tak mengikuti.
Namun sayangnya,lepas dari Jihan tak berarti aku lepas dari masalah.Karena di depan ku telah berdiri tegak seorang cowok.Tepatnya makhluk Tuhan yang paling ingin kuhindari saat ini.God,tolong berikan aku arah yang lain...Aku celingak-celinguk.Nihil.Hanya tersisa dua pilihan,meneruskan langkah hingga ke hadapannya atau berbalik kembali ke kelas.Setelah berfikir sejenak,aku menarik napas panjang.Baiklah, aku akan menghadapinya.
Hai Pink,sapanya menyambutku dalam jarak setengah meter.Aku melengos.Mencoba bersikap tak peduli dan meneruskan langkah.Perutku sudah bernyanyi sejak tadi.Tak mungkin ku abaikan gara-gara cowok ini.Jarak semakin dekat.Lalu...
Pink,kita harus mengakhiri semua ini.Gugup yang datang tiba-tiba menagacaukan konsentrasiku.Akibatnya aku tak mampu menjaga jarak.Di pintu siku kami bersinggungan,aku mundur beberapa langkah.’sorry katanya buru-buru’.Aku bersiap memutar.Namun...”PINK...”Jangan panggil aku dengan nama itu,tukas ku tak senang.Ia mengerutkan dahi.Sungguh itu mimik terbaiknya.
Kenapa?Bukankah itu panggilan yang biasa untuk mu?Tapi,aku tak mau dipanggil begitu,dengusku kesal.Kenapa ia begitu keras kepala.Kenapa?Aku menyukainya.Ia masih berkeras.Dan itu membuat ku meradang.Tapi aku tidak! Tolong,jangan panggil aku dengan nama itu..pintaku bersungguh-sungguh.Bahkan,mungkin terdengar sedikit tajam.Cowok beralis tebal dengan sepasang mata teduh bagai telaga itu,menatap ku dalam-dalam.Lalu mengangguk.Baiklah,tapi dengan satu syarat,kita harus bahas masalahnya dulu.
Aku tercengang.Ya ampuun, kenapa jadi dia yang menentukan ? tapi aku tak punya pilihan,kecuali dia akan terus memanggil ku dengan nama itu.
Baiklah aku menyerah dengan sangat terpaksa.Tampaknya aku harus mengakui kebenaran yang beredar di tengah cewek-cewek di sekolah ini.Ray sangat sulit untuk ditolak.Lihatlah bahkan aku pun menyerah.
Kami duduk di sudut kantin,menjauh dari kelompo-kelompok yang berisik di tengah ruangan,suara mereka berdengung bagai sekumpulan lebah yang mengitari madu.Sesekali gelak terbahak meruak,menyentak telinga.Apa aja sih yang mereka perbincangkan?
Menit-menit berlalu dalam diam.Kami duduk berhadapan dengan pandangan berlawanan.Aku membuang pandang ke luar kantin,menjangkau lapangan basket yang lengang.Ray sibuk dengan fikirannya.Ia mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah.Seseklali ekor mataku menangkap tatapannya yang tertuju ke wajah ku.Uh,terperangkap dalam situasi beku seperti ini benar-benar menyebalkan.Kenapa dia belum bicara sih ? Kalau ga ada yang dibicarakan,aku pergi.Aku berdiri dan menatapnya dengan gusar.Ray tersentak.Aku menangkap kegugupan yang membayang selintas di wajahnya.
Oke,sorry sahutnya buru-buru.Duduklah.aku bingung darimana harus memulainya.Apakah,sebuah permintaan maaf?tanyanya hati-hati sambil menelisik wajahku. Aku melengos.”kayaknya udah basi tuh”Kenapa?Bukankah kamu pernah bilang,setiap manusia berhak memperoleh kesempatan kedua? Aku membuang pandang.Masih ingat pernah ngucapin kalimat itu kan?Ia mencecarku dengan nada menyiratkan kemenangan.Dan aku tak rela !
Aku ingat,tapi itu nggak berlaku nuat kasus kita.Kamu itu sadar nggak sih,udah mengatakan sesuatu yang sangat merendahkan seseorang?sergahku.Aku nggak bermaksud begitu.Aku sedang kesal,itu aja.Aku nggak punya niat sama sekali untuk merendahkan kamu.Ray membela diri.Tapi kamu mengejeku dengan julukan cewek perempatan.Coba deh kamu tanya sama orang lain,apakah kalimat itu nggak merendahkan?.Ray mengela napas dan menatap ku serius.Aku nggak punya pilihan.Aku gak tahu nama kamu.Dan omongan kamu benar-benar membuat ku tersinggung.Tapi kamu membuat anak-anak lain ikut-ikutan!Aku berkeras sambil menahan air mata yang hampir jatuh.Nggak,aku nggak akan menangis di depan cowok ini!
Aku ingat sekali kejadian awal yang membuatku membenci Ray.Saat itu,umur ku masih dua belas tahun.Aku besar dijalanan,sebagaimana ibu dan ayah.Rumah kami hanyalahsebuah rumah mungil di mulut gang sempit,tepat dibawah naungan sebatang pohon mangga tua.Gang itu adalah satu dari beberapa gang lain yang bermuara ke sebuah jalan besar,yang setiap harinya sesak oleh arus beragam kendaraan.  
Jauh sebelum ia menemukanku,sosok Ray sudah tak asing di mataku.Ia anak salah satu pemilik rumah mewah di pinggir jalan besar,tak jauh dari rumah ku.Setiap pagi ia pergi ke sekolah bersama ayahnya yang mengendarai sedan mahal buatan Eropa.Siangnya pulang bersama supir dengan mobil yang berbeda.Dua jam kemudian pergi lagi menyandang tas dan berpakaian rapi.Pulang lagi ke rumah,tak lama keluar mengenakan baju muslim dan sebuah peci.Kupikir,ia pergi mengaji.Dua jam berikutnya pulang,masuk ke rumah dan tak keluar-keluar lagi.Begitulah setiap harinya,kecuali hari minggu.Karena hari Minggu,jadwal anak lelaki itu jadi tak beraturan.Terkadang ia bermain roller skate di halamannya yang luas atau bermain sepeda ke jalanan bersama teman-temannya.Sepedanya bagus,sepeda balap bewarna silver dengan stang melengkung.
Diam-diam aku mengaguminya kala mengayuh sepeda di depanku.Ia tak memperhatikan ku sama sekali.Selain itu masih ada beragam hal lain yang dilakukannya di hari Minggu.Berenang,main badminton dengan ayahnya atau pergi ke pesta bersama seluruh keluarga.Nah,untuk hal terakhir,aku sering terkikik geli melihat penampilannya yang berjas dan berdasi kupu-kupu.Bagiku penampilannya seperti aktor-aktor drama Korea,salah satu favoritku.
Lalu suatu ketika,saat aku hendak menyebrang jalan,seorang cowok bersepeda nyaris menubruk ku.Aku menutup mata dan menjerit histeris melihat sepeda itu meluncur kencang ke arahku.Untung tak terjadi apa-apa.Kecuali permukaan ban yang menyentuh lembut kulit betisku.Aku membuka mata dan buru-buru berlari ke trotoar.Pengendara sepeda telah duluan berada disana.Dan aku mengenalinya.Anak orang kaya dengan sepeda keren yang dikagumi.
Kamu ga punya mata ya?Lampu merah masih main kebut.Percuma aja sekolah,tapi nggak tahu aturan!Aku mendampratnya dengan marah.Tapi anak lelaki itu malah balas melotot ke arah ku.Wajahnya merah padam.Teman-temannya yang tiba belakangan sudah merubungi kami.
Dasar cewek perempatan!Kamu tuh yang ga tau aturan.Bersepeda pake ngelamun segala.Aku makin marah mendengar kata-katanya.Kamu....sangking marahnya,aku kehilangan kata-kata.Banyak kalimat yang ingin aku hamburkan tapi yang keluar hanya air mata.Belum pernah ada seorang pun yang memanggil ku cewek perempatan.Dan aku bersumpah aku takkan pernah melupakan itu.Nggak akan pernah!
Udah ah,Yuk,kita jalan lagi.Ngapain juga ngeladeni cewek perempatan.Anak lelaki itu memberi isyarat kepada teman-temannya lewat tangannya.Mereka mengayuh sepedanya dan meninggalkan kudengan gelak tawa sumbang.
Aku menggeram marah.Dan lebih marah lagi,karena setelah itu,julukan cewek perempatan menjadi begitu lekat denganku.Teman-temannya dan seluruh anak laki-laki dikawasan itu memanggilku begitu.
Pink,ngelamun?Sebuah sentuhan di ujung jari membuat seluruh gambar dari masa laluku,buyar menguap.Cepat ku tarik tanganku dari meja.
Nggak,jawab ku ketus.Tapi kamu nggak mendengar kata-kata ku barusan kan?Aku menatapnya dengan bibir terkatup rapat.Aku minta maaf karena pernah menjuluki mu cewek perempatan.Tapi aku ingin tetap memanggilmu Pink.Boleh?Ray merendahkan suaranya.Aku menggeleng.Kenapa?tanyanya penasaran.Itu bukan namaku.Tapi kamu membiarkan papa memanggilmu begitu.Kenapa aku tidak boleh?protes Ray.Aku memalingkan wajah.Karena merasa hutang budi?kejar Ray.Hatiku mengiyakan.
Ya bagaimana mungkin aku menolak panggilan itu untuk orang yang telah mengangkatku sebagai anak,sejak ayah dan ibu meninggal dalam kecelakaan di depan rumah Ray?Aku memejamkan mata dengan hati perih.Semua seperti membayang kembali.Ayah dan Ibu terkapar berlumuran darah dibadan jalan.Sepaeda ayah yang remuk di bawah ban truk.Orang-orang yang berkerumun dengan tatapan terenyuh.Dan tangisan seorang gadis kecil yang menyayat pilu.Gadis kecil yang tiba-tiba merasa dunianya hampa,tanpa siapa-siapa.Lalu gelap.Ia pingsan,entah untuk berapa lama.Dan saat tersadar,wajah seorang lelaki berkumis tebal dengan senyum lebar yang pertama-tama didapati.Lelaki yang menolong ayah,ibu,dan aku.
Halo Pink?Kamu udah sadar?itu kalimat pertama yang ku dengar sekaligus pertama kalinya aku disapa dengan sebutan Pink.Beberapa hari setelahnya baru aku tahu alasan lelaki itu melekatkan nama Pink.Tak lain warna baju yang kupakai saat pingsan dan semburat merah muda yang membayang di pipiku ketika sadar.Sebutan pink itu sekaligus melekatkan identitas baru untukku sebagai anak angkat dr.Rahmad,ayah Ray.
Anehnya meskipun telah serumah,aku dan ray jarang bertegur sapa,kecuali didepan papanya.Kebencian yang kutanam sejak kasus di perempatan tak pernah pupus.Bahkan hingga aku duduk di bangku SMA.
Pink...Pokoknya aku nggak mau kamu memanggilku pink.Itu hanya berlaku untuk papa,tandasku.Tapi aku suka.Apa aku harus membelikanmu baju pink,boneka pink,sepatu pink,dan benda-benda pink lainnya,baru kamu mau kupanggil begitu?Ray masih berkeras.”Kamu kira aku cewek matre ya?”.Ray menggeleng kuat-kuat.Nggak.Aku nggak bilang begitu,Aku Cuma ingin memanggilmu Pink.”Tapi aku nggak mau”.Ya,tapi kenapa?Bukankah semua butuh penjelasan?
Aku hanya ingin memakai nama ku,nama yang dipilihkan Ibu.Aku ingin nama itu selalu melekat.Dengan begitu,kuharap mereka tak pernah benar-benar pergi dariku,paparku dengan susah payah.Rasanya untuk menelan ludah saja sulit kulakukan sekarang ini.Apalagi menahan air mata yang terus menerus berkecipak di pelupuk.Pertahanan ku runtuh.Sebutir demi sebutir air bening,menyusuri pipi.Dan tahu-tahu aku telah terisak.Ini,Ray menyodorkan selembar tisu.Aku meraihnya dan cepat-cepat menyusut air mata.
Aku mengerti ujarnya dengan mimik serius.Aku ingin memanggil mu dengan nama itu sama dengan alasan papa.Kami ingin kamu bangkit dari masa lalu.Bukan berarti menghilangkan jejak itu sama sekali.Kurasa,dengan atau tanpa nama asli kami memanggilmu,toh nama itu akan terus melekat.Di rapor,ijazah,dan surat-surat penting lain.Takkan ada yang terhapus.Nama itu selalu melekat dengan dirimu,sebagaimana kedua orangtua mu.Mereka akan selalu ada dan hidup di hatimu meskipun teman-teman memanggilmu dengan sebutan apa saja.Begitu kan?
Aku terdiam,Kupikir apa yang dikatakan Ray ada benarnya juga.Tanpa sadar senyum ku mengembang tipis,meski rasanya masih memahit.”Hei....kamu tersenyum.Apa itu artinya aku boleh memanggilmu Pink?”.Aku mengangguk.Ray tertawa lebar.
Pink,adikku yang cantik..katanya kemudian.Pipiku memanas,rasa-rasanya ada semburat pink disana.Bel berdentang,hmm,itu artinya pembicaraan ini telah usai.Juga perang dingin kami.

PINK
R.YULIA
SUMBER : MAJALAH GADIS
                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar